Wednesday, January 24, 2007

Be a Happy Person…..

MENJADI BAHAGIA ADALAH SEBUAH PILIHAN

Kebahagian sama sekali bukan satu paket pemberian yang bisa kita tunggu dan harapkan dari orang-orang diluar kita. Tapi kebahagian adalah apa-apa yang dibangun, kita jalin dan kita tumbuhkan benih demi benih dalam hati kita. Bagaimana caranya..?

Cintai diri sendiri, syukuri yang kita miliki
Berapakali sering kita merasakan ketidakpuasan akan apa yang Allah anugerahkan kepada kita? Rasa ketidakpuasan itu hanya sekedar menjadi pencetus munculnya rasa tidak bahagia. Maka, cintailah diri sendiri dan apa yang anda miliki apa adanya. Mencintai diri sendiri, berarti siap pula menerima segala kondisi, bukan untuk berpasrah pasif, namun untuk bersyukur sekaligus melakukan improvisasi2 aktif.

Berdamai dengan masa lalu
Menengok masa lalu bukan sekedar untuk mengenang maupun mengungkit trauma. Tetapi untuk melakukan analisa dan membuat perubahan2 kebaikan.

Cari sudut pandang positif
Suatu persoalan yang sama bisa memberi efek berbeda dengan menerapkan sudut pandang berbeda. Kalau dilihat sebagai suatu masalah , sebagai kesumpekan, sebagai beban berat semua pasti membuat hati resah dan suntuk berkepanjangan. Tapi lihatlah dengan cara berbeda....tentang hikmah dari semua permasalahan yang ada.

Solusi, solusi, solusi
Bahwa kebahagian adalah pilihan, memang tidak serta merta menghilangkan masalah. Memilih happy-happy saja melihat masalah yang kita hadapi, memang tidak serta merta masalah menjadi selesai. Tapi itu adalah cara untuk menengkan diri. Membuat hati tidak bergejolak, kepala jernih dan otak tidak menutup diri. Seseorang yang bahagia adalah seseorang yang melihat masalah bukan hanya untuk dikeluhkan, tetapi dicarikan jalan keluarnya. Carilah solusi.. Ada 1001 cara bisa digunakan.

Variasi dan refreshing
Jenuh..Bete..Suntuk...? Sangat mungkin kok, hidup dengan pola itu-itu saja selama 5, 10, 15 tahun, bagaimana mungkin tak akan memunculkan kejenuhan ? Maka, untuk mengatasinya cobalah pengembangan variasi, melakukan kegiatan2 yang menyenangkan diri pribadi pun bis membalikan hati yang suntuk, resah dan gelisah.

Belajar dan terus berkembang
Setiap kita perlu menyadari bahwa sampai akhir hayat nanti, kita harus terus belajar dan berkembang. Jangan pernah berfikir untuk berhenti, stagnan dan mandeg. Dengan sebegitu banyaknya kesempatan kita belajar dan berkembang, semestinya tidak ada waktu untuk merasa suntuk, susah lantas tidak bahagia. Bahkan dari kesusahanpun kita bisa belajar dan berkembang. Belajar bersabar, belajar menerima keadaan. Belajar untuk bisa menyisipkan tawa, mensyukuri nikmat dan hikmat yang kita peroleh dari apapun kesulitan yang menimpa diri kita.

Ciptakan rangkaian kesuksesan
Kadang kita merasa bahagia setelah sukses melakukan pekerjaan2”besar” dan hebat sehingga kita menggantungkan pula target kesuksesan yang besar dan hebat. Menjadi penulis tenar, pengusaha sukses, pejabat, memiliki rumah besar dan mobil mewah. Target besar lebih sulit dicapai dan lebih mudah memunculkan rasa tidak bahagia bila kita gagal mencapainya. Apalagi jika kita membuat sekian banyak target sekaligus.. Yang terjadi adalah, muncul perasaan tidak mampu menyelesaikan semua pekerjaan. Karena yang ini belum kelar dan itu belum kelar. Karena itu mengapa tak kita ciptakan rangkaian kesuksesan kecil yang saling menjalin tak putus-putus? Patokannya, ingatlah firman Allah” dan jika kamu sudah selesai satu urusan, kerjakanlah urusan yang lain......”

Mintalah bantuan pemiliknya
Kebahagian bersumber dari hati yang tunduk, aman, damai dan berpuas diri. Sementara hati manusia dengan segala potensi gejolaknya adalah milik Allah Swt. Maka, melakukan segala langkah meraih bahagia tidak akan terwujud, selama kita tak dekat dan memohon kepada sang empunya hati untuk meneguhkan hati dalam pasrah kepada kehendakNya.. Semoga Allah menganugerahkan kita semua dalam bahagia dunia dan akhirat. (Nungki’88/ sumber: femina, Ummi)

Monday, January 1, 2007

Menikah

“Menikahlah, karena menikah itu adalah setengah agama”, pesan sang ustadz, yang mensitir hadist Nabi, diacara pernikahan tetangga saya.

Dulu pesan itu memang pernah nyangkut dalam memori saya. Hanya saja jika ada orang yang bertanya apa maksudnya, biasanya waktu itu saya menjawab,”Wallahu a’alam”. Terus terang meskipun saya pernah ikut pesantren kilat dan pernah belajar fiqh munakahat, saya nggak mudeng jika ditanya hal itu. Bukan apa-apa pelajaran saya waktu itu cuma sekedar teori. Barulah setelah bertahun-tahun saya menikah, sedikit demi sedikit misteri itu mulai terbuka. Ternyata pernikahan itu menjadi sebuah madrasah bagi saya, setelah madrasah-madrasah lainnya.

Saya belajar banyak dari madrasah pernikahan itu, tentang suami dan keluarganya juga tentang berbagai hikmah berbagai peristiwa yang saya hadapi dalam keseharian hidup. Contohnya, dalam pernikahan saya tak hanya tahu makna sabar, tapi juga menghayati kata tersebut. Bagi kami lima tahun usia pernikahan kami adalah waktu untuk menghayati dan melatih sabar. Bagaimana tidak, dengan latar budaya yang berbeda antara saya dan suami banyak hal yang tidak matching. Kami terbiasa menggunakan cara pandang dengan background masing2. Dalam kondisi seperti ini, maka kesabaran kedua belah pihak, saya dan suami adalah obat yang mujarab agar perkawinan bisa tetap langgeng.

Pernikahan juga memaksa saya untuk belajar mengamalkan agama lebih baik. Jika dulu tidak ada orang yang menyodorkan buku-buku untuk dikaji bersama, sekarang suami selalu melakukannya. Jika dulu tak ada orang yang mengajak untuk sholat berjamaah, sekarang itu menjadi suatu rutinitas yang kami lakukan bersama. Jika dulu hafalan doa-doa saya payah, sekarang mau tak mau harus diperbaiki. Bagaimana tidak? Putri saya selalu menanyakan ”Mami, bagaimana sih doa ini..ini..ini.. ajari aku ya..”

Akhirnya pernikahan memaksa saya untuk belajar dan terus belajar memperbaiki diri dan menyempurnakan agama. Mungkin inilah maksud hadist tadi, bahwa menikah adalah setengah agama. (Nungki’88)